FENOMENAVIRAL.COM – Fenomena Gangster Surabaya belakangan ini cukup meresahkan masyarakat di Kota Pahlawan. Sekarang ini masyarakat resah dan takut.
Masyarakat Surabaya resah kalau berada di jalan pada malam hari. Banyak yang khawatir dengan munculnya para Gangster Surabaya. Kelompok kriminal anak muda.
Perbincangan menyeramkan karena kerap meneror dan lekat dengan kekerasan itu membuat Gangster Surabaya selalu menjadi sorotan banyak pihak.
Konvoi pamer senjata tajam, teror, hingga penyerangan membabi buta dan kerap salah sasaran kepada warga yang tak berdosa penanda terjadinya masalah serius di Surabaya.
Langkah progresif gabungan Pemkot Surabaya dengan kepolisian dan TNI. Melibatkan pula sejumlah elemen masyarakat. Hingga sejumlah anggota gangster sudah tertangkap.
Apakah sudah cukup? Secara umum, perilaku gangster yang di anggap sebagai perilaku patologis atau abnormal anak-anak muda pendamba eksistensi itu memang dekat dengan kriminalitas.
Bila bentuknya kriminal, hukum akan mampu memberikan ganjaran yang sepadan. Tapi apakah akan benar-benar memberikan efek jera dan menjadi preseden bagi anak muda lainnya yang berlaku menyimpang?
Sosiolog Unair Surabaya Prof Bagong Suyanto mengatakan bahwa fenomena Gangster Surabaya adalah bentuk perilaku patologis anak muda.
Yakni perilaku sosial yang bermasalah dan dekat dengan masalah kesehatan mental. “Biasanya, dipengaruhi oleh kelompok,” jelas Bagong, mengutip detikJatim, Kamis (8/12/2022).
Ada beberapa faktor utama yang memunculkan fenomena gangster itu. Yakni faktor ekonomi dan faktor subkultur yang menyebabkan perilaku yang ingin tampil eksis atau membuktikan keberadaan dirinya.
“Soal ekonomi dan subkultur. Kulturnya, kan, anak-anak marginal (biasanya kalangan ekonomi menengah ke bawah) yang pengen eksis dengan melakukan tindakan-tindakan patologis. Kondisi ekonomi itu menguatkan posisi mereka yang hidup serba tidak adil, ya. Sudah klop akhirnya,” ujar Bagong.
Kombinasi masalah ekonomi dan perilaku hasil subkultur yang cenderung ingin membuktikan diri itulah yang mendorong anak-anak muda dengan usia antara 14-17 tahun untuk mengekspresikan diri dengan cara yang keliru.
Ditambah lagi dengan provokasi konten-konten menyimpang di media sosial sehingga muncul keinginan lebih besar untuk membuktikan diri melalui aktivitas bersama kelompok-kelompok yang liar.
“Mereka ini anak muda usia 14-17 tahun yang banyak mengembangkan kultur eksistensi dengan subkultur resisten. Jadi memang mereka lebih banyak ingin membuktikan siapa dirinya, diakui, dan dihormati dalam kelompoknya. Didukung dengan adanya konten provokatif di medsos,” ujarnya.
Hasilnya, anak-anak muda yang tergabung dalam gangster yang kerap mempertontonkan kekerasan di medsos itu menjadi lebih sering mengekspresikan diri dengan melakukan hal-hal di luar nalar. Tidak hanya itu, kata Bagong, mereka cenderung apatis dengan kondisi di sekitarnya.
“Karena untuk kelompok-kelompok marginal memang media untuk mengekspresikan diri kan tidak banyak. Makanya mereka mengekspresikan sikap sok jagoan dalam perilaku yang patologis seperti itu,” ujar Bagong.
Fenomena gangster di Surabaya merupakan masalah sosial. Bagong mengatakan bahwa penanganan dengan pendekatan hukum tidak bisa benar-benar efektif.
Juga tidak benar-benar bisa menjadi contoh yang mampu memunculkan efek jera bagi anak muda lainnya. “Pendekatan hukum saja tidak akan bisa. Wong ini masalah sosial, kok,” tegasnya.
Untuk memberantas perilaku itu, Bagong menegaskan, harus ada tawaran lain yang memungkinkan mereka yang memiliki begitu banyak energi tetap bisa mendemonstrasikan perilaku sok jagoan dan cenderung butuh pengakuan itu.
Maka, anak-anak muda yang tergabung dalam kelompok gangster itu perlu wadah untuk menyalurkan sikap patologis tapi tetap dalam koridor tidak melanggar hukum.
Solusinya, menurut Bagong, adalah wadah kegiatan yang memungkinkan mereka tetap mendemonstrasikan perilaku sok jagoan.
“Misalnya, melarang corat-coret di tembok, ya adakan lomba mural. Kalau yang suka tarung, dicarikan tempat sasana atau tarung secara legal dan di bina.”
“Kemudian balapan liar, kalau dilarang, ya, carikan tempat balapan yang sah dan dalam pengawasan. Jadi tetap disalurkan, bukan ditiadakan,” katanya.
Bagong juga menyebutkan bahwa mereka yang sudah tidak lagi tergabung dalam gangster masih bisa kambuh dan berpotensi melakukan kegiatan kriminal karena lingkungan pergaulannya.
Untuk mengatasinya pihak berwajib perlu melakukan strategi lebih lanjut. “Itu tergantung polisi menjalin kerja sama dengan keluarga untuk mengawasi.”
“Harus ada kesiapan juga, pemerintah harus mengembangkan mitra dengan keluarga dan masyarakat. Kalau penyalurannya harus melibatkan banyak pihak. Karena (perilaku) itu tidak bisa dihilangkan, tapi disalurkan,” katanya.