Perang Rusia Ukraina, Seperti Bumerang Senjata Makan Tuan

Perang Rusia Ukraina

FENOMENAVIRAL.COM – Perang Rusia Ukraina masih menjadi topik pembahasan hangat publik. Apalagi perang ini seperti bumerang senjata makan tuan bagi Rusia.

Dampak dari perang Rusia Ukraina, membuat ekonomi Rusia kini mulai tersengat. Para ekonom menyebut meskipun defisit anggaran Rusia melonjak, Moskow tampaknya tidak akan menguras dana perangnya.

Seberapa kuat perekonomian Rusia akan terlihat beberapa bulan kedepan dalam menghadapi serangkaian sanksi baru, dan seberapa lama uang bisa terus digelontorkan untuk serangan militernya di Ukraina.

Dikutip dari CNBC Internasional, defisit anggaran Rusia pecah rekor hingga mencapai 1,8 triliun rubel Rusia (US$ 24,4 juta) pada Januari, dengan belanja negara tumbuh sebesar 58% dari tahun sebelumnya.

Di sisi lain, pendapatan negara tersebut turun lebih dari sepertiga.

Produksi industri dan penjualan ritel pada Desember turun secara tahunan, bahkan terburuk sejak pandemi Covid-19 pada awal 2020.

Penjualan ritel anjlok sebesar 10,5% secara tahunan, sementara produksi industri menyusut 4,3% dibandingkan dengan November sebesar 1,8%.

Rusia memang belum melaporkan angka pertumbuhan PDB untuk Desember. Pengumuman pertumbuhan ekonomi rencananya baru akan diumumkan pada Jumat pekan ini.

Menurut Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan OECD, PDB Rusia turun setidaknya 2,2% dalam skenario kasus terbaik pada 2022 dan dapat memburuk hingga 3,9%.

Bahkan, diperkirakan kontraksi tersebut akan berlanjut pada tahun 2023. Namun, pemerintah Rusia, dalam hal ini Kementerian Keuangan dan bank sentralnya, menyebut hal ini sesuai dengan skenario mereka.

CEO Macro Advisory yang berbasis di Moskow, Chris Weafer, mengatakan pertumbuhan ekonomi Rusia disebabkan oleh beberapa faktor seperti perubahan rezim pajak yang dimulai pada awal Januari dan manuver perpajakan minyak Rusia.

Sebelumnya, perusahaan membayar pajak dua kali per bulan, tetapi saat ini digabung per tanggal 28 setiap bulannya.

Adapun, perubahan dalam manuver pajak minyak Rusia yang mulai berlaku pada Januari lalu, diperkirakan akan hilang dalam beberapa bulan ke depan.

Direktur pelaksana penelitian politik global di TS Lombard, Christopher Granville mengatakan sepanjang bulan Januari harga rata-rata Ural naik tipis menjadi US$ 50 per barel.

Negara-negara yang memberikan sanksi pada Rusia memperpanjang larangan kapal yang membawa produk minyak asal Rusia mulai 5 Februari, dan Badan Energi Internasional berharap ekspor Rusia anjlok karena berjuang untuk menemukan mitra dagang alternatif.

Di sisi lain, Weafer menyebut Rusia memiliki strategi unik untuk mempertahankan perekonomiannya. Perusahaan milik negara menjadi bantalan sumber pendapatan negara.

Hal ini menjadi alasan utama mengapa sanksi tidak mempengaruhi kehidupan rumah tangga Rusia meskipun perang terus berlanjut.

“Artinya, di masa sulit, negara mampu memasukkan uang ke sektor negara, menciptakan stabilitas dan subsidi serta menjaga agar industri dan jasa tersebut tetap berjalan,” katanya.

“Itu memberikan faktor penstabil bagi perekonomian, tentu saja, di saat-saat yang baik atau di masa pemulihan, itu bertindak sebagai jangkar,” ungkapnya.

Sementara di sektor swasta, Weafer mencatat ada volatilitas yang jauh lebih besar. Sektor manufaktur Rusia mengalami penurunan belakangan ini. Namun, sektor tersebut dapat diselamatkan oleh pemerintah melalui subsidi.

Selain itu, pasar perdagangan paralel melalui negara-negara seperti India dan Turki juga belum memengaruhi Rusia secara substansial.

“Saya pikir itu makin tergantung pada berapa banyak uang yang harus dikeluarkan pemerintah. Jika memiliki cukup uang untuk dibelanjakan memberikan dukungan sosial dan dukungan industri utama, situasi itu dapat bertahan untuk waktu yang sangat, sangat lama,” kata Weafer.

“Di sisi lain, jika anggaran mengalami tekanan dan kita tahu bahwa pemerintah tidak dapat meminjam uang, mereka harus mulai melakukan pemotongan dan membuat pilihan antara pengeluaran militer, dukungan industri utama, dukungan sosial, dan itulah situasi yang mungkin berubah. Tapi saat ini, mereka memiliki cukup uang untuk militer, untuk dukungan industri utama, untuk subsidi pekerjaan, dan untuk program sosial,” pungkasnya.